rss

08 Agustus 2010

SORE ITU DI RUMAHMU

Jam 3 sore. Selesai sholat ashar aku kembali kerumahku setelah sejenak aku menghadap ke pangeranku. Mentari sore yang silau mulai memaksaku untuk segera beranjak. Beberapa orang sambil lalu lirik melewat gang depan rumahmu yang sempit. Sementara motorku yang terparkir sudah cukup memenuhi jalan setapak itu. Sedikit angin yang masuk, berhembus melalui celah-celah menerpa ramputmu yang hitam lebat terurai. Membuat aku semakin berat untuk meninggalkanmu. Di lain sisi aku tidak bisa memungkiri bahwa ini adalah akan menjadi perpisahan kita. Air matamu yang sebening embun itu membuat hatiku basah, memenuhi seluruh tubuhku hingga meluap melewat kedua mataku.



“Jangan pergi…!” ucapmu.

“Tak perlu kau ucapkan itu, aku tidak akan kemana-mana. Aku akan selalu di sini, di hatimu. Seharusnya aku yang berkapa seperti itu. Tolong, jangan pergi!” Sahutku.

“Ini diluar keinginanku, ini diluar kemampuanku!”

“Aku mengerti. Sudah Takdir. Sekarang aku hanya bisa mengingat-ingat semua hal tentang kamu. Wajahmu, senyummu, cintamu…., juga namamu. Aku takkan melupakan itu.”

Baju hitam yang kau pakai sekarang setengah basah karena air matamu yang tak kunjung berhenti mengalirkan air mata. Aku masih terasa hari hari kemarin yang begitu hangat. Keramahan hatimu membuatku luluh tak bertulang. Memang semua salahku, aku selalu datang disaat yang tidak tepat. Di kala kamu sedang menempuh ujian, di kala kamu dituntut harus konsentrasi belajar, sempat-sempatnya aku mengganggu ketenanganmu hanya untuk mengetahui bagaimana keadaanmu saat ini. Tak heran kakak perempuanmu marah-marah. Dia bilang begini-begitu bagaimanalah yang memuaskan dirinya.

“Maaf, Ani sedang EBTANAS. So, jangan diganggu…!”

“Oh.., iya kak.Makasih, selamat malam!”

Tutt…tutt..tuttt….., Telepon itu langsung ditutup tanpa basa-basi. Aku hanya terbengong di teras sambil memandangi dirimu di atas langit. Tersenyum, manis, memberikan warna. Ingin ku membelai rambutmu dan merasakan halusnya rambutmu. Namun, wajahmu hanya hologram dari imajinasiku.

Seketika itu tanganmu mengagetkanku, membuyarkan lamunanku dan mengingatkan bahwa kita akan berpisah. Sekian lama aku termenung hingga terbangun lagi tak menyurutkan air yang terlus mengalir di wajahmu. Suara kereta yang melintas dari kejauhan seakan ikut menjerit, tidak menginginkan kamu untuk pergi.

“An, jangan pergi!” ucapku.

“Aku ingin di sini, bersamamu!” sahur dia.

“Makanya, kamu harus tetap di sini.”

“Tidak bisa, ini bukan tempaku. Di sini aku hanya menumpang. Duniaku bukan di sini. Aku harus kembali ke kehidupanku yang dahulu. Jauh dari kamu, jauh dari kesenangan yang aku dapat ketika bersamamu. Kembali ke kehidupanku yang terkekang, kembali ke kehidupanku yang selalu diatur ketat. Aku ingin di sini, bersamamu.”

Suasana seketika hening. Suasana yang berlalu lalang pun yang awalnya samar jadi terdengar begitu meraung-raung. Kota Solo saat itu mulai menjadi ramai. Semakin teduh langit, semakin banyak orang yang berlalu-lalang untuk mencari kesenangan. Seperginya suara-suara itu hanya tinggal suara angin dari timur yang bertiup ke barat dan berbelok ke utara memasuki rumahmu.

“Minggu depan aku akan ke Bandung. Aku akan melanjutkan studi. Kakak-kakakku, orang tuaku, semua di sana. Aku juga harus kesana. Apakah kamu mau meneruskan semua ini?”

“Sungguh tiada gadis lain lagi dihatimu. Hatiku hanya ada kamu, namamulah yang selalu aku panggil ketika aku tertidur dan bermimpi. Aku di sini dan aku akan bertahan.”

“Kamu boleh kok kalau ingin mencari cewek lain. Asal jangan sampai tahu aku saja.”

Aku berpikir. Apakah yang Ani ucapkan itu serius. Sedang yang aku tahu dia orangnya tidak seperti itu. Bahkan ketika itu dia marah besar sekali. Saat di mana aku iseng mengajak kenalan adik kelasku. Khilafku sms itu masuk ke nomornya dia. Jelas seketika itu dia langsung marah besar tidak tertolong. Ngambek beberapa hari membuatku kebingungan. Sudah aku jelaskan sedemikian rupa, dengan cara apapun yang aku bisa.

“Aku enggak bisa!”

“Nggak apa-apa kok.”

“Apa akamu ingin aku seperti itu?”

Dia terdiam. Mengisyaratkan bahwa dia dia tidak menginginkan itu. Sesuatu yang sudah lama terbangun, mati begitu sajan. Siapa juga orang yang menginginkannya.

Pundakku terasa dingin membasah hingga didadaku. Air matanya begitu deras. Menangis didekapanku membuatku semakin berat untuk pergi. Sementara Anto, temanku dan Esti, sepupu Ani sudah kembali dari jalan-jalan. Sengaja aku minta Anto untuk mengajak Sepupu Ani pergi agar aku bisa lebih leluasa berbicara dengan Ani.

“Lho kok makai nangis segala? Ada apa ini” tanya Esti.

“Nggak ada apa-apa kok!” jawab Ani.

“Sepertinya aku mengerti apa yang terjadi!” tambahnya. “Ya sudah, jangan menangis,aku mengerti apa yang kamu rasakan.”

“Gak bisa kak!”

“Iya, gak perlu nangis lagi. Yang sabar!” tambah Anto.

“Sulit…” jawab Ani.

“Kamu ini dari dulu emang cengeng!”

Dentangan empat kali dari jam dinding klasik memotong pembicaraan, memberitahukan bahwa sudah terlalu lama aku menunda kepergianku. Mentari sudah mulai di ufuk barat. Aku harus segera mengejarnya. Aku tidak ingin dia pergi dulu sebelum aku sampai. Aku berpamitan hendak pulang. Namun, Anis masih saja memegang tanganku, tidak mengijinkan aku untuk pergi. Seketika itu kakan pertamanya datang. Memang seumur-umur aku sama dia belum pernah bertemu dengan kedua kakaknya. Yang aku lihat ternyata kakaknya tida seperti yang aku bayangkan. Ani putih dan manis, sementara kakaknya hitam tanpa membawa manis adiknya.

“Hei, ada apa ini? Siapa kamu?” tanya kakak pertama Ani.

“Aku, Eri. Pacarnya Ani.” jawabku.

“Apa, pacar kamu bilang? An, benar dia pacar kamu?”

“Er, kenapa kamu bilang?”

“Apa An, kamu nggak pernah bilang sama kakakmu kalau kamu sudahpunya pacaran?”

“Sudah…, kamu nggak pantes jadi pacarnya Ani. Kamu selalu nyakitin Ani, kamu buat dia nangis seperti ini. Kamu orangnya kasar.”

“Tapi…”

“Haaahhh…..”

“Eri, sepertinya hari ini kita memang benar-benar hari perpisahan kita. Sebaiknya kamu lupakan saja aku. Ini sudah tidak bisa diteruskan lagi”

Benar sekali, ternyata Ani nggak pernah cerita sama kakak-kakaknya kalau selama ini dia punya seorang kekasih. Hanya kakak sepupunya yang tau hubungan aku dan dia. Seseorang yang menjadi teman curhatnya dan yang senantiasa menemaninya. Angin yang tadinya hanya membawa suara desahan kini membawa reruntuhan daun yang jatuh dari pohon sebelah. Angin yang dari timur sekarang menghempaskan debu-debu jalanan menerpa wajahku yang telah basah dengan air mata. Seakan dunia ikut runtuh merasakan kehancuran hatiku yang tak terbendung. Sebelum aku pergi sejenak aku pandangi wajah manis yang telah memelukku. Air matanya sudah seperti mata air yang airnya terus mengalir. Tak sanggup aku berlama-lama disana, hanya akan menambah kesakitanku. Aku harus beranjak. Meski perih akan aku bawa rasa ini. Wajahmu, senyummu, cintamu…., juga namamu.

Ini menjadi kenangan. Kenangan sore itu, dirumahmu.

0 komentar:


Posting Komentar

Blog Portofolione [◣_◢] Yoni Ahmad |

[◣_◢] WELCOME |

    Email : blog@yoniahmad.co.cc

ARSIP BLOG

    www.yoniahmad.co.cc

Menu Utama

LOGIN | SEARCH

DOWNLOAD EBOOK

IMAGE RESOURCES

MY BLOG

 

Your Links

www.yoniahmad.co.cc
go to my homepage
..:: Klik gambar mlebet blog ::..
Copyright@sastra-jawa007