Masih duduk termenung memandangi sebuah gambar yang sengaja aku simpan di sebuah data traveler 8 Gb. Dari sebuah penyimpanan yang aku kasih nama ‘Tak Biasa’ itu aku sering kali masih merasakan ketidak percayaan akan kejadian yang terjadi padamu. Aku masih merasakan senyumanmu, begitu ceria. Terlihat jelas di gambar ada empat orang yang memakai jaket kuning putih dan seorang lagi memakai pakaian hijau rapi. Benar sekali, foto itu adalah foto waktu kita sedang melakukan Kuliah Kerja Lapangan.
Di sebuah desa yang penuh dengan debu bertebangan, namun berlimpahan dengan air di sungai-sungainya. Di selaang pandang yang ada hanya jalan berbatu terjal dengan hamparan pepadian yang menghiasi kanan kirinya.
“Ini kapan selesainya sih?” keluh Ari, dia salah satu teman aku.
“Bentar lagi!” sahut kamu.
Di desa Pengkol itu kita telah mengukir nama kita, juga nama kampus kita. Setelah berlama-lama kita duduk di balai desa, kita menuju tempat pak lurah. Pergi menuju tempat persinggahan. Memang berat sebagai seorang Kormades, setelah tadi memberikan sambutan yang bla.. bla.. bla…. Sok pintar dan sok intelek, kini aku harus membuat konsep dan merancang jadwal.
Akhirnya ditentukan kita membagi dua tim. Aku bersama Rinda dan kamu bersama Ari. Beberapa hari kita lalui dengan mulus, meski pendekatan ke warga cukup sulit karena mereka sudah sering dibosankan dengan kegiatan-kegiatan seperti ini. Mereka lebih suka dengan kegiatan yang lebih nyata. Menurut mereka menggali sumur, membangun jalan akan lebih bermanfaat ketimbang belajar membaca pada usianya yang bisa dibilang tidak mudah lagi.
“Mbak dan Mas Guru, ini mau belajar kapan? Kami gak punya waktu, kami harus pergi ke sawah.!” Tanya seorang warga.
“Gimana kalu malam saja Pak, Bu?” aku berikan penawaran ke warga.
“Ya dah, gak papa mas! Tapi ada makanannya kan?”
“Ooo…, tentu pak. Sekarang kami akan membuat jadwal untuk lima dusun. Jadi, mohon pamit dulu. Selamat siang, assalamu alaikum!”
“Walaikum salam!”
Hari demi hari terlewati. Kita berempat mengajar dengan tim yang telah kita bentuk. Satu tim mendapat dua dusun sedang dusun yang terakhir kita sama-sama. Sampai saat ini keadaan baik-baik saja, sampai suatu ketika aku bermasalah dengan Rina. Dia telah mengeluarkan kata-kata yang sangat menyinggungku. Ketidak harmonisan terjadi.
“Aku tidak terima Rin, kata-katamu itu terlalu pedas untuk aku telan!”
“Yang mana? Yang mana?” sahut Rina.
“Sudah.., sudah…, jangan berantem lagi!” kamu berusaha melerai kami.
Akhirnya Rina memutuskan untuk pindah tim, dia memilih untuk bersama Ari. Dan kamu terpaksa harus satu tim berpasangan denganku. Tapi aku tahu kamu orang yang bijak. Sampai di tempat makan pun kita jadi sering terdiam dan suasana menjadi sangat kaku. Yang awalnya kita selalu bercanda kini hanya diam, kaku menghadap makanan. Hanya sesekali suara sendok garpu yang bertubrukan dengan piring. Juga suara tegukan air ketika masuk ke tenggorokan.
Kita sebagai satu tim, termasuk tim yang sering berjalan-jalan dan refreshing karena kita mempunyai banyak waktu. Kita beruntung memiliki warga belajar yang bisa diajak kerja sama. Ada beberapa teman kita yang kesulitan untuk mengondidikan warga, karena memang warganya yang tidak mendukung. Bahkan ada yang sampai luranya kewalahan. Kebersamaan-kebersamaan yang kita lewati membuat kita menjadi dekat. Banyak tim yang lain iri, karena merasa tim kita dalah tim yang paling kompak. Wlau sebenarnya tim kita juga tidak luput dari masalah.
“Teman-teman, besuk ada acara kumpul-kumpul d Jipang. Kita ikut g?”
“Oke, oke !” jaab Ari.
“Aku manut saja!” jawab cewek-cewek.
Kita berempat memang tim yang kompak. Kita selalu bersama. Namun di luar saat-saat bersama itu, aku dan Ari juga lebih sering keluar. Mengunjungi posko-posko teman di desa lain.
Merasa iri dengan kami, kalian sebagai cewek-cewek juga ingin seperti kami. Hingga saat itu kamu dan Rina pergi ke kota. Dari siang aku dan Ari menunggu kabar dari kalian. Detik-demi detik, menit berlalu, jam pun berlari mengejar irama detak detik. Aku dan Ari masih risau menunggu kepulangan kalian berdua. Pencat pencet tombol remot TV tanpa tau apa yang sedang kami tonton karena kegelisahan. Hingga akhirnya lewat jam sepuluh malam terdengar suara motor masuk gerbang. Seketika Ari marah-marah, kesetanan, tak ada kendali.
“Kalian itu dari mana sih? Malam segini baru pulang.” Tanya Ari.
“Dari belanja ke kota, buat kebutuhan!” jawab cewek-cewek.
“Belanja? Belanja dari Hongkong jam segini baru pulang. Kamu tau gak? Kami ini yang dirumah sangat khawatir dengan keadaan kaliyan?”
“Tapi kami gak apa-apa kan?” kamu menyela.
“Ehh….., dibilangin malah ngeyel! Sebenarnya bukan hanya itu, itu masalah kecil. Kalian, mau pergi, mau minggat, jalan-jalan seharian, bahkan jungkir balik terserah kalian! Tapi kalian harus tau etika disini. Di sini di desa, bukan kos-kosan yang di kampus kamu yang seenaknya keluar-masuk. Apalagi in sudah malam, malam minggu lagi. Kalau warga tau bisa-bisa kita dibilangin yang enggak-enggak sama mereka. Dan itu berarti kita telah menghancurkan martabat kita, juga almamater kita.”
“Ya dah, maaf. Tapi kami nggak ngapa-ngapain kok. Bener!”
“Nggak cukup, dasar kalian cewek-cewek …… !”
Seketika itu kamu menangis oleh perkataan Ari yang dilontarkannya tanpa kesadaran yang penuh itu.
Kembali terjadi tragedi di tim kita. Kamu dan Ari yang sekarang tidak akur. Tidak pernah berkomunikasi. Dan kembali terjadi diam tak bergerak di meja dapur. Aku berusaha untuk menasehati Ari agar tak terlalu keras sama kamu. Meski perjuangan berat tetap harus dicoba. Kata maaf yang akhirnya menyatukan kita. Rasa mengalah, rasa kekeluargaan yang sudah terlanjur terbangun mengalahkan semua ego dan emosi.
Setelah empat puluh lima hari, akhirnya kita menyelesaikan perantauan kita, tugas berjalan dengan baik. Sebagai rasa terima kasihku pada kalian, saat itu aku ajak kalian untuk menikmati nikmatnya bakso Sedadi. Bakso yang besar membuat perut menjadi penuh. Kita tertawa, kita becanda, kita bahagia.
Tak terasa sekarang sudah terasa panas pantat ini yang membangunkan lamunanku dari sepercik kisah masa lalu. Kembali aku lihat foto yang ada di monitor. Sesekali aku tersenyum namun aku juga ingin menangis. Sudah dua tahun kita melewati hari hari itu. Menski begitu beberapa kali kamu mengajakku untuk berkunjung ke desa kenangan itu. Dua kali lebaran kita sudah berkunjung kesana. Dua tim kita, Ari dan Rina sudah cukup sulit untuk direngkuh. Mungkin karena kesibukannya dengan skripsinya.
Dari kita berempat kamu yang lulus lebih dulu. Kabar terakhir yang aku dengar dari kamu, kamu sudah diterima sebagai Calon Pegawai. Saat itu setelah kita berkunjung ke tempat pak Kadus kamu mengajakku mampir sejenak. Sebagai rasa syukur kamu mentraktirku makan. Dan ternyata itulah saat terakhir aku melihatmu. Setelah beberapa minggu tanpa kabar aku iseng telpun-telpun ke teman-teman. Sampai giliran kamu yang aku telpon. Kamu sedang sakit.
“Hai, gimana kabarnya” tanyaku.
“Kurang baik..!” jawab kamu.
“Kenapa!”
“Mendadak aku sakit. Aku sudah empat puluh hari dirawat du rumah sakit Kudus. Empat puluh hari juga aku dirawat di Rumah sakit Semarang. Sekarang aku sedang rawat jalan. Dadaku sering sesak, kata dokter sih paru paru basah tapi setelah dicek ke dokter gak ada apa-apa. Dan kakiku juga tidak bisa untuk jalan, sakit sekali jika dibuat berdiri, apalagi jalan. Kata dokter di persendian-persendiakn kakiku ada cairan apa gitu, tapi ternyata hasil tes laborat tidak begitu,”
“Lho kok aneh, gak wajar itu. Jangan-jangan kamu dibuna-guna lagi?” tanyaku sambil iseng.
“Nggak tau, minta doanya saja!”
Aku merasa sedih, ikut merasakan sakit ketika melihat kamu, seorang temanku mengalami sakit. Bahkan sampai tidak bisa berjalan, pasti perasaan kamu sangat kacau. Kamu sudah lulus, bahkan kamu sudah diterima jadi Calon Pegawai. Sedang aku bahkan belum lulus. Aku kira kamu pasti orang yang paling beruntung. Diluar dugaanku ternyata ada sakit yang menempel pada dirimu, yang aku kira itu sangat tidak wajar. Beberapa minggu kemudian kamu memberi kabar bahwa kamu sudah mendingan. Bisa berjalan meski dengan alat bantu. Aku turut senang.
Selang berapa bulan, ketika aku sedang menghadiri acara resepsi pernikahan temanku di Temanggung seorang temanku yang juga teman satu kelasmu mendapat kabar dari kamu. Kabar terakhir. Ternyata kamu sudah tiada. Seketika itu aku tersentak, tapi aku masih tidak percaya.
“Yon, Ratih…! Ratih…, temen kamu KKN sudah tidak ada. Sudah meninggal!”
“Ratih? Nggak mungkin ah, kemarin dia baru saja telpun aku kok. Dia malah mendingan keadaannya sekarang!”
“Bener, Ratih sudah nggak ada! Ratih yang anak kudus itu kan yang satu ma posko sama kamu. Yang satu kelas sama aku juga, sama Ni’am? Dia sudah benar-benar nggak ada !”
“Innalilahi waina ilaihi rojiun…, ya Allah Ratiiihh…….!”
Meski kalimat itu sudah terucap aku masih tetap tidak percaya sampai aku melihat sendiri.
Acara resepsi begitu lama. Tengah hari baru selesai. Aku dan teman-teman rombongan segera meluncur ke semarang. Namun langit yang sudah gelap keburu menumpahkan airnya. Hujan yang begitu lebat mengiringi perjalananku pulang ke semarang. Air mengguyur jalan, air mengguyur tubuhku, membasah sampai teralir kedalam kulitku.
Sesampai di Semarang, aku, Koko, Niam, Isned, Pak ketu dan pacarnya melanjutkan perjalanan ke Kudus, ke kotamu. Sial sekali ternyata sampai perjalananku ke kudus, hujan tak jua reda. Terlihat keramaian di jalan raya Demak kerumunan orang-orang. Beberapa orang mengangkat seseorang yang tergeletak di jalan, bersimpah darah yang begitu kental. Beberapa orang yang lain menyingkirkan motor yang tergeletak di tengah jalan. Aku jadi teringat sama kau. Aku ingin mendengar kepastian tentang kamu, karena au masih belum percaya. Aku masih tak percaya.
Setelah beberapa lama rombonganku sudah sampai di rumah kamu. Tak terasa sudah jam setengah delapan malam. Setelah menyelesaikan sholat isya, aku segera menyusul teman-teman masuk ke dalam rumah kamu. Ternyata benar, di rumah itu aku melihat motor amu yang berwarna merah. Aku hafal, karena aku pernah memboncengkan kamu dengan motor itu. Sampai di dalam aku juga melihat ukiran nama kamu yang terpajang di tempok, tertulis jelas Ratih K. Seketika aku merasa ingin menangis, namun masih tertahan di kelopak mataku. Aku tidak ingin terlhat sedih, aku tidak ingin membuat keluarga kamu tambah sedih.
“Kemarin aku masih melihat dia becanda sama adiknya. Dia sepertinya baik-baik saja. Dia begitu ceria, bahagia. Tak kusangka itu adalah senyuman terakhirnya.” Kata ayah kamu.
“Yang sabar ya pak! Aku juga masih belum percaya, au sering bepergian sama dia. Bahkan ketika di Pengkol aku juga yang sering memboncengkannya. Aku masih merasakan itu seperti baru kemarin!”
Ternyata semangkuk mie yang kau berikan waktu itu adalah pemberian terakhirmu, tanda perpisahanmu. Kita, tim yang dibangga-banggakan sama teman-teman. Tim yang selalu kompak, selalu bersama sekarang kehilangan satu mutiaranya. Aku ingin sekali mencetak dan memperbesar foto tim kita. Agar bisa kuingat-ingat tentang arti sebuah sahabat. Tentang rasa yang mengajarkan kebersamaan, kekeluargaan. Sekarang kenangan itu benar-benar tinggal kenangan.
Tulisan ini adalah sebuah pesan yang belum sempat aku ucapkan untuk mengantar kepergianmu. Aku, Rina, dan Ari merasa sangat kehilangan akan kepergianmu. Sekarang tidak ada lagi yang menghalangi kamu untuk meraih mimpimu, meraih surgamu di sisi-Nya. Dengarkanlah kata-kataku, aku yakin kamu di sini, bersamaku menulis alunan suara ini. Dengarlah bahwa kamu telah memberikan banyak arti bagi tim kami. Yang takkan habis meski dikikis setiap hari.
Pergilah sahabat, tenanglah dirimu. Raihlah mimpimu, raihlah surgamu. Kebaikanmu akan terus mengalir.
0 komentar:
Posting Komentar